Penggunaan Teknologi Wearable untuk Monitoring Pasien di Area Bencana

Korban Bencana

Dalam situasi bencana alam, tantangan terbesar dalam sektor kesehatan adalah keterbatasan akses, keterlambatan respons medis, dan minimnya infrastruktur yang tersedia. Dalam konteks inilah teknologi wearable (perangkat yang dapat dikenakan) memainkan peran krusial. Wearable bukan lagi sekadar tren gaya hidup, melainkan solusi potensial untuk menyelamatkan nyawa di lokasi-lokasi terdampak bencana.

Apa Itu Teknologi Wearable?

Teknologi wearable merujuk pada perangkat elektronik yang dikenakan di tubuh dan mampu mengumpulkan serta mentransmisikan data secara real-time. Contoh yang umum antara lain jam tangan pintar (smartwatch), pelacak kebugaran (fitness tracker), serta sensor biometrik yang menempel di kulit atau pakaian. Dalam dunia medis, wearable dilengkapi sensor yang mampu memonitor detak jantung, tekanan darah, kadar oksigen, suhu tubuh, dan bahkan aktivitas otot.

Tantangan Medis di Area Bencana

Sebelum membahas solusi, penting memahami tantangan nyata yang dihadapi petugas medis di lokasi bencana:

  • Minimnya fasilitas kesehatan: Rumah sakit sering rusak atau kewalahan akibat lonjakan jumlah korban.

  • Kesulitan komunikasi: Terputusnya jaringan telekomunikasi menyulitkan koordinasi antar tim medis.

  • Distribusi pasien: Korban tersebar di area luas, sementara tenaga medis dan sumber daya terbatas.

  • Monitoring terbatas: Pasien yang membutuhkan observasi intensif sulit diawasi secara manual secara terus-menerus.

Semua tantangan tersebut menunjukkan kebutuhan akan sistem monitoring yang fleksibel, otomatis, dan dapat diakses dari jarak jauh.

Peran Teknologi Wearable dalam Monitoring Pasien

1. Pemantauan Vital Secara Real-Time

Perangkat wearable dapat digunakan untuk memantau tanda-tanda vital seperti denyut jantung, saturasi oksigen (SpO2), dan suhu tubuh pasien secara terus-menerus. Data ini sangat penting untuk mengidentifikasi pasien yang kondisi kesehatannya menurun tanpa perlu pemeriksaan manual.

2. Peringatan Dini terhadap Krisis Medis

Wearable dapat diprogram untuk mengirim peringatan otomatis kepada petugas medis bila terjadi abnormalitas, misalnya penurunan drastis saturasi oksigen atau peningkatan suhu tubuh yang mengindikasikan infeksi atau kondisi gawat. Ini memungkinkan tindakan cepat tanpa harus menunggu pemeriksaan berkala.

3. Manajemen Data Pasien di Lapangan

Dengan sistem berbasis cloud atau jaringan lokal, data dari wearable dapat dikumpulkan dan dianalisis secara terpusat. Hal ini memudahkan petugas medis untuk memprioritaskan pasien berdasarkan urgensi medis, serta memantau perkembangan kondisi pasien dari waktu ke waktu.

4. Mengurangi Kontak Fisik

Dalam kasus bencana dengan potensi penyebaran penyakit menular (seperti gempa bumi di tengah pandemi), wearable membantu mengurangi frekuensi kontak langsung antara tenaga kesehatan dan pasien, sehingga menurunkan risiko penularan.

5. Mobilitas Tinggi

Perangkat wearable memiliki ukuran kecil dan ringan, sehingga mudah dipasang dan digunakan bahkan dalam kondisi darurat. Pasien dapat tetap dimonitor tanpa harus berada di fasilitas medis formal, memungkinkan pengawasan kesehatan yang luas di posko darurat atau tenda pengungsian.

Implementasi Nyata: Studi Kasus dan Inovasi

Beberapa negara telah mengimplementasikan teknologi ini dalam skenario darurat. Misalnya:

  • Jepang, negara yang rawan gempa, telah menguji wearable untuk monitoring warga lansia di pengungsian, guna mencegah kematian akibat penyakit kronis yang tidak terdeteksi dini.

  • Italia, selama pandemi COVID-19, menggunakan sensor wearable di tempat isolasi untuk mengurangi beban rumah sakit dan menjaga monitoring pasien tetap optimal.

  • Indonesia, melalui lembaga seperti BPBD dan universitas teknik, mulai mengeksplorasi potensi wearable untuk penanganan korban banjir atau gempa, walaupun skalanya masih terbatas.

Tantangan dan Batasan Penggunaan

Meskipun menjanjikan, adopsi teknologi wearable di area bencana tidak lepas dari kendala:

  • Ketersediaan Listrik dan Internet: Banyak area terdampak bencana tidak memiliki pasokan listrik stabil atau jaringan data.

  • Biaya Produksi dan Distribusi: Wearable medis canggih masih relatif mahal dan distribusinya membutuhkan perencanaan logistik yang matang.

  • Keandalan Data: Sensor harus dirancang tahan terhadap kondisi ekstrem seperti hujan, panas berlebih, atau debu agar tetap akurat.

  • Privasi dan Keamanan Data: Data medis yang dikirim melalui jaringan harus dilindungi untuk menghindari penyalahgunaan.

Arah Pengembangan ke Depan

Untuk meningkatkan efektivitas wearable di lokasi bencana, beberapa pendekatan pengembangan bisa dilakukan:

  • Integrasi dengan Sistem Informasi Bencana: Wearable sebaiknya dikembangkan agar kompatibel dengan sistem manajemen bencana nasional, seperti PUSDALOPS.

  • Desain Khusus untuk Kondisi Ekstrem: Menggunakan material tahan air, tahan panas, dan sensor yang tetap stabil di kondisi medan berat.

  • Sumber Daya Mandiri: Misalnya, penggunaan baterai tenaga surya atau sistem hemat energi agar wearable tetap aktif tanpa infrastruktur listrik konvensional.

  • Kolaborasi Multisektor: Pemerintah, startup teknologi, universitas, dan LSM perlu berkolaborasi untuk pengujian dan pengadaan perangkat ini secara luas.

Kesimpulan

Teknologi wearable menjanjikan revolusi dalam penanganan pasien di area bencana. Dengan kemampuan memantau kondisi kesehatan secara real-time, mengirim peringatan dini, dan mengurangi beban petugas medis, wearable membuka peluang untuk respons yang lebih cepat dan efisien. Namun, tantangan teknis dan logistik masih perlu diatasi melalui inovasi dan sinergi lintas sektor. Di masa depan, dengan semakin canggih dan terjangkaunya perangkat wearable, sistem monitoring pasien di lokasi bencana dapat menjadi lebih tangguh, adaptif, dan berdaya guna tinggi.

Baca juga : Perawatan Darurat untuk Anak-Anak di Area Bencana: Pendekatan yang Lebih Sensitif dan Efektif